Kisah dari Pak Idul
Aldi, Fauzi, dan Bagus—tiga sekawan dari kelas XII Elektronika Industri (ELIN) SMK Al Murqoniyah—baru saja menyelesaikan ujian praktik Mikrokontroler yang menguras tenaga. Siang itu, terik matahari membuat pelataran sekolah terasa memanggang.
"Gila, panas banget. Otak gue mendidih," keluh Aldi sambil mengusap keringat di dahinya.
Mereka berjalan menuju gerbang sekolah. Tepat di samping tembok tinggi yang membatasi area sekolah dengan kompleks kediaman Ketua Yayasan, tumbuh subur sebuah pohon mangga tua yang rimbun. Cabang-cabangnya menjuntai, beberapa buahnya yang sudah kuning kehijauan menggoda mata.
"Lihat tuh, mangga punya Pak Haji," kata Fauzi, menunjuk buah-buah yang tampak matang. "Kayak ngajak dipetik."
"Jangan macam-macam, Fauz," Bagus mengingatkan. "Itu punya Pak Kyai Haji Kamil, Ketua Yayasan kita. Jangankan dipetik, disentuh aja bisa kena skors."
Namun, Aldi memiliki ide lain. Mereka melihat Pak Kyai sedang tidak ada. Di bawah pohon itu, beberapa mangga tampak terjatuh dan tersembunyi di balik rumput liar, kotor berdebu.
"Gini aja," bisik Aldi. "Kita 'selamatkan' yang jatuh. Kan sayang kalau busuk. Terus kita cuci bersih di keran wudu musala. Anggap saja amal baik, menghilangkan benda kotor."
Fauzi dan Bagus awalnya ragu, tapi godaan mangga segar di tengah terik siang terlalu kuat. Dengan hati-hati, mereka memunguti lima buah mangga yang jatuh, memilih yang tidak terlalu memar.
Mereka berhasil membawa mangga-mangga itu ke musala sekolah. Air keran wudu yang dingin terasa menyegarkan saat membasuh debu dan kotoran dari kulit mangga. Mereka tertawa pelan, merasa seperti melakukan sebuah misi rahasia.
Saat mereka sedang asyik mengeringkan mangga hasil "penyelamatan" itu dengan tisu bekas di bawah pohon beringin dekat pos satpam, tiba-tiba terdengar suara yang sangat familier.
"Wah, Aldi, Fauzi, Bagus. Kalian sedang menikmati hasil panen, ya?"
Ketiga anak itu terlonjak kaget. Di belakang mereka, berdiri Pak Kyai Haji Kamil sendiri, dengan senyum tipis di wajahnya. Wajah mereka langsung pucat pasi.
"I-itu... Anu, Pak Kyai..." Aldi tergagap, memegang mangga yang sudah bersih.
"Kami nemu yang jatuh, Pak. Kotor banget. Jadi kami cuci biar enggak busuk di tanah," Fauzi menyahut jujur, setengah pasrah.
Pak Kyai maju mendekat. Beliau menatap mangga yang sudah dicuci bersih, lalu menatap wajah-wajah tegang ketiga siswanya.
"Mangga itu memang sudah saatnya jatuh, Nak. Kebetulan saya baru pulang dari pertemuan di kabupaten, jadi belum sempat memerintahkan petugas untuk memungutinya," kata Pak Kyai, suaranya tenang. Beliau lalu mengambil satu mangga yang paling besar. "Terima kasih sudah membersihkannya. Kerjaan kalian jadi lebih ringan."
Ketiga siswa itu sedikit bernapas lega. Mereka kira akan langsung diinterogasi.
"Tapi," lanjut Pak Kyai, sorot matanya berubah serius. "Apa yang kalian lakukan ini, secara adab, kurang tepat. Meski sudah jatuh, itu tetap di area properti yayasan, area yang saya kelola. Lain kali, tanyakan dulu."
"Siap, Pak Kyai. Maafkan kami," jawab mereka serempak, menunduk malu.
Pak Kyai tersenyum lagi. "Baik. Karena kalian sudah berinisiatif membersihkannya, sebagai hadiahnya, kalian boleh memakan mangga yang sudah kalian cuci ini. Tapi ingat, bukan karena kalian mengambilnya, melainkan karena kalian sudah membantu membersihkannya."
Pak Kyai lalu mengambil dompetnya dan memberikan selembar uang pada Aldi. "Ambil ini. Beli sambal rujak dan garam. Lebih enak kalau dimakan ramai-ramai."
Ketiga anak itu saling pandang, bingung campur haru. Mereka tidak jadi dihukum, bahkan diberi modal untuk bumbu rujak.
"Satu hal lagi," Pak Kyai menepuk pundak Aldi. "Jika kalian tahu ada sesuatu yang bermanfaat tapi terbuang sia-sia, niat untuk menyelamatkannya itu baik. Tapi, niat baik harus dilakukan dengan cara yang benar dan santun. Jangan sampai keahlian 'menyelamatkan' kalian itu malah jadi kebiasaan 'mengambil' yang tidak pada tempatnya, ya? Apalagi kalian anak Elektronika Industri, harus punya integritas tinggi saat bekerja dengan komponen dan aset berharga orang lain."
Ketiga anak itu mengangguk mantap. Mereka tidak hanya mendapatkan mangga yang lezat, tetapi juga sebuah pelajaran berharga tentang integritas dan adab dari seorang Ketua Yayasan. Setelah Pak Kyai pergi, mereka pun bergegas membeli sambal rujak dan berbagi mangga di bawah pohon beringin yang teduh, mangga yang terasa lebih manis dari biasanya.
Komentar
Posting Komentar
Mari kita ledakan dunia ini dengan kebahagiaan!