Berawal dari
kekhawatiran yang melingkari hari. Betapa tidak, hari rabu akhir Januari itu
isteriku mulai merasakan gejala kelahiran dari sosok bayi yang dikandungnya. Hingga kami pun berangkat ke Mak Bagong,
sang paraji di Kamurang. Namun malam kamis, sehabis magrib, bundamu kembali di
bawa ke rumah di depok, lalu mencoba periksa di Rumah Bersalin
MATERNA-Cilodong. Namun bidan di sana hanya menganjurkan untuk USG, hasilnya
masih ada kemungkinan seminggu lagi. Masya Allah, rintihan isteriku menghiasi
malam Kamis hingga malam Jum’at, pulang-pergi ke RB. MATERNA tak terasa sudah
pagi, hari Jum’at tanggal 01 Pebruari 2010.
Segala doa kupanjatkan,
segala nasihat kujalankan, segala cara kugunakan, namun usaha dan upaya belum
menyentuh hasil. Abhimu pasrah…, tak tega mendengar rintihan bundamu, kutanya
pada nenekmu, adakah mak paraji di sini?. Ternyata Bu Haji di seberang adalah
seorang paraji juga. Akhirnya abhimu merangkai harapan kembali pada Bu Haji,
meminta pertolongannya untuk membantu persalinan bundamu. Seiring
keberangkatanku ke mesjid untuk sholat Jum’at, abhi ke rumah bu haji, sang
paraji.
Masih dengan doa di waktu
sholat jum’at, aku penuh harap agar ada jalan bagi kelahiranmu. Sepulang sholat
jum’at aku pun kembali menyaksikan perjuangan bundamu yang sudah tiga hari
kesakitan, tanpa makan yang cukup. Aku pun terlibat membantu sang paraji yang
sudah lengkap dengan segala perangkatnya. Mulai dari perangkat medis sampai
perangkat supranatural.
Betapa perjuangan bundapun
tak kan cukup diungkapkan dengan kata-kata, ketika akhirnya sang paraji
menyerah, dan kamu hanya mampu menampakan rambut lebatmu ke bumi. Kamipun
membawa bundamu ke tempat praktik bidan Haji Budi di studio alam. Ketegangan
dan kekhawatiran semakin menjadi, keadaan laksana telur diujung tanduk.
Tigahari-tigamalam tak
tidur nyenyak membuat mata semakin berat, namun pada jam setengah empat sore
itu, mataku terasa ringan, lebih ringan dari balon gas yang lepas dari tangan
mungil anak kecil. Betapa tidak, manakala puncak kepasrahan kepada Tuhan telah
ku umbar pada semua telinga yang mendekat. Akhirnya telingaku pun mendengar
sebuah tangisan bayi yang dinanti, khabarnya, dia laki-laki. Subhanallah,…dan
segala puji bagi-Nya atas karunia yang tak terhingga ini.
Depok, Jum’at-pukul 15.30, 01 Pebruari 2010.
Kuhampiri isteriku, yang ketika itu laksana bidadari yang tersasar berlari dari
surga hingga sampai di bumi. Dia berlari meluapkan kegembiraannya layaknya
pemain sepakbola merayakan kemenangan setelah sukses mencetak gol ke gawang
lawan. Kebahagiaan yang tak tertandingi kecuali oleh karunia cinta itu sendiri.
Keagungan cinta semakin
khidmat ketika isteriku tersenyum dan menunjukan alasan kebahagiaannya saat
itu. Sesosok bayi mungil berbinar dari inkubator telah menguji kami dengan
berbagai pilihan ganda, dan kini kami berdua telah lulus di tahap Sembilan
bulan pertama menghadapi berbagai persoalan demi sebuah idaman.
Saat hal ini pertama ditulis, Dzoelfaqor, begitu abhimu
memanggil, kau sedang terlelap dengan mimpi ‘mpeng’nya. Dua tahun sudah nafasmu
hadir bersama, di tengah keluarga nan berhias kesyukuran dengan keutuhan dalam
ketuhanan. Hanya ada satu ungkapan yang layak diabadikan dari perjalanan kita,
“bahwasanya, kita semua dilahirkan dengan tuntutan yang tak berujung, setiap
kali ada tuntutan yang dibacakan dunia yang kita tinggali, kita akan
mendapatkan tuntunan dari yang maha pengasih dan penyayang, agar kita memiliki
kemampuan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Manakala kemampuan telah kita
miliki, maka tuntutan lainnya akan dibacakan kembali oleh dunia yang sudah
pasti menjadi sang Jaksa Penuntut Umum. Begitulah sepanjang hayat dikandung
badan. Hanyalah pengalaman yang dapat kita jadikan guru terbaik dalam hidup.
Dzulfaqor, mari kita bicara tentang hidup.
Pahamilah bahwa setiap nafas yang kau hela, adalah modal dasar pinjaman dari
sang pencipta alam. Ingat kita sudah terikat dengan pinjaman-pinjaman hidup,
selain pinjaman nafas tadi, kita juga memiliki pinjaman raga dari sang bumi.
Setelah kita menyelesaikan hidup ini, kita harus mengembalikan pinjaman-pinjaman
tersebut. Nafas kita akan ditarik oleh malaikat Izrail as, dan dikembalikan
kepada sang pencipta alam, yaitu Allah swt. Kenalilah Dia, ma’rifat ilallah.
Dia-lah sebaik-baik tempat kembali bagimu. Lalu ragamu, harus pula dikembalikan
pada yang meminjamkannya yaitu bumi, dimana tubuhmu terdiri dari unsur-unsur
tanah, bumi yang kamu pijak sedari kamu mulai menangis, merangkak, berjalan dan
berlari hingga terjatuh tadi pagi. Ingatlah pula, ragamu akan dikembalikan oleh
para penggali kubur kepada anasir semula, dari tetes air hina, kamu bisa
berjaya dan binasa, kau tumbuh dari protein hewani yang memakan tumbuhan yang
bersemi di tanah, kau bertenaga karena mengkonsumsi daun dan buah dari tumbuhan
yang hidup di tanah. Pada detik yang telah ditentukan oleh sang pencipta, raga
kita pun akan dikonsumsi oleh cacing-cacing tanah, yang pada akhirnya
unsur-unsur dari raga kita pun akan dikonsumsi oleh tumbuhan yang hidup di
tanah kuburan raga kita. Begitulah kisah sang raga yang kita puja keelokannya
hari ini.
Abstraksi imani yang abhi tawarkan padamu kali ini
adalah, setelah kamu penuhi tuntutan yang pertama yaitu ma’rifat ilallah, maka
bacalah, tanyalah apa yang belum kamu pahami, carilah pengetahuan dan jadikan
pengetahuan sebagai ilmu. Hanya ilmu yang akan menjaga hidupmu dan akan mampu
menyelamatkanmu dari segala bahaya kehidupan yang kau jalani, sampai kamu hidup
untuk kedua kali.
Masa berlalu dua tahun dari hadirmu Hadrian, hari
Minggu, 21 Pebruari 2010, pukul 6.10, adikmu pun terlahir. Saevani Dzulqornain, kunamai Dee-mu. Kau lalui hari-harimu dengan kecemburuan akan kasih sayang pada Dee-mu, padahal kasih sayang Abhi-bundamu bukanlah berkurang, tapi semakin luas dan dalam, sebentuk cinta yang besarnya tanpa bentuk karena tak kenali ukuran dan volume. Kata-kata ini pun tak cukup memuaskan pengungkapan karunia tuhan atas cinta yang kita miliki.(bersambung)
Saat ini....14 Pebruari 2014, Jum'at. aku publikasikan cinta ini bukan atas nama 'valentine'. Tapi atas nama keagungan tuhan semata. Selepas magrib, aku mulai merangkai kata kembali, tentu saja hanya untuk pribadi dan kamu di masa nanti. Setidaknya abhimu sudah berwasiat tentang kefanaan diri, percayalah! hidup ini hanyalah mimpi, merangkai mimpi. Susunlah mimpi-mimpimu sampai ke awan, seperti kamu menumpuk balok-balok di playground. Suatu masa kau pun akan terbangun dari mimpi itu, dan hidup dalam keabadian. Bila saja kamu rangkai mimpi-mimpimu dengan tanaman kebaikan, maka ketika kau terbangun dari mimpimu, niscaya akan kau panen 'kebaikanmu' itu di taman firdausmu. Lalu kau nikmati kelezatan mimpimu dengan 'minuman' dari telaga 'kautsar'; Sayang memang, hal ini tak dapat tercium oleh 'hidung' siapapun, tak terdengar oleh telinga manapun, dan belum pernah dirasakan oleh lidah yang ada di bumi ini. Sungguhlah ini, hanya yang sudah meninggalkan bumilah yang telah terbangun dari mimpi-mimpinya.
Abhi berkisah padamu atas nama rosululloh SAW, kenali dan cintailah beliau.Karena abhi akan berupaya semampu jiwa dan raga agar cinta ini tak terbelenggu emosi. Seharusnya abhi mencintamu dan menyayangmu sebatas jalan tuhan dan rosul-Nya. Pahamilah ini setelah akalmu sempurna nanti di suatu masa. Karena di masa sekarang, kamu hanya memiliki kesimpulan bahwa yang ghaib adalah yang tidak 'kelihatan'. Hingga ketika mendung dan malam malam menjelang, kamu pun katakan bahwa "matahari mulai ghaib' bhi!".....ya! sementara bolehlah kamu berpikir begitu!
see you letter my kids!
Abhi berkisah padamu atas nama rosululloh SAW, kenali dan cintailah beliau.Karena abhi akan berupaya semampu jiwa dan raga agar cinta ini tak terbelenggu emosi. Seharusnya abhi mencintamu dan menyayangmu sebatas jalan tuhan dan rosul-Nya. Pahamilah ini setelah akalmu sempurna nanti di suatu masa. Karena di masa sekarang, kamu hanya memiliki kesimpulan bahwa yang ghaib adalah yang tidak 'kelihatan'. Hingga ketika mendung dan malam malam menjelang, kamu pun katakan bahwa "matahari mulai ghaib' bhi!".....ya! sementara bolehlah kamu berpikir begitu!
see you letter my kids!