Jumat, 14 Februari 2014

PROSA HADRIAN DZULFAQOR



Berawal dari kekhawatiran yang melingkari hari. Betapa tidak, hari rabu akhir Januari itu isteriku mulai merasakan gejala kelahiran dari sosok bayi yang dikandungnya. Hingga kami pun berangkat ke Mak Bagong, sang paraji di Kamurang. Namun malam kamis, sehabis magrib, bundamu kembali di bawa ke rumah di depok, lalu mencoba periksa di Rumah Bersalin MATERNA-Cilodong. Namun bidan di sana hanya menganjurkan untuk USG, hasilnya masih ada kemungkinan seminggu lagi. Masya Allah, rintihan isteriku menghiasi malam Kamis hingga malam Jum’at, pulang-pergi ke RB. MATERNA tak terasa sudah pagi, hari Jum’at tanggal 01 Pebruari 2010.
            Segala doa kupanjatkan, segala nasihat kujalankan, segala cara kugunakan, namun usaha dan upaya belum menyentuh hasil. Abhimu pasrah…, tak tega mendengar rintihan bundamu, kutanya pada nenekmu, adakah mak paraji di sini?. Ternyata Bu Haji di seberang adalah seorang paraji juga. Akhirnya abhimu merangkai harapan kembali pada Bu Haji, meminta pertolongannya untuk membantu persalinan bundamu. Seiring keberangkatanku ke mesjid untuk sholat Jum’at, abhi ke rumah bu haji, sang paraji.
            Masih dengan doa di waktu sholat jum’at, aku penuh harap agar ada jalan bagi kelahiranmu. Sepulang sholat jum’at aku pun kembali menyaksikan perjuangan bundamu yang sudah tiga hari kesakitan, tanpa makan yang cukup. Aku pun terlibat membantu sang paraji yang sudah lengkap dengan segala perangkatnya. Mulai dari perangkat medis sampai perangkat supranatural.
            Betapa perjuangan bundapun tak kan cukup diungkapkan dengan kata-kata, ketika akhirnya sang paraji menyerah, dan kamu hanya mampu menampakan rambut lebatmu ke bumi. Kamipun membawa bundamu ke tempat praktik bidan Haji Budi di studio alam. Ketegangan dan kekhawatiran semakin menjadi, keadaan laksana telur diujung tanduk.
            Tigahari-tigamalam tak tidur nyenyak membuat mata semakin berat, namun pada jam setengah empat sore itu, mataku terasa ringan, lebih ringan dari balon gas yang lepas dari tangan mungil anak kecil. Betapa tidak, manakala puncak kepasrahan kepada Tuhan telah ku umbar pada semua telinga yang mendekat. Akhirnya telingaku pun mendengar sebuah tangisan bayi yang dinanti, khabarnya, dia laki-laki. Subhanallah,…dan segala puji bagi-Nya atas karunia yang tak terhingga ini.
Depok, Jum’at-pukul 15.30, 01 Pebruari 2010. Kuhampiri isteriku, yang ketika itu laksana bidadari yang tersasar berlari dari surga hingga sampai di bumi. Dia berlari meluapkan kegembiraannya layaknya pemain sepakbola merayakan kemenangan setelah sukses mencetak gol ke gawang lawan. Kebahagiaan yang tak tertandingi kecuali oleh karunia cinta itu sendiri. Keagungan cinta semakin khidmat ketika isteriku tersenyum dan menunjukan alasan kebahagiaannya saat itu. Sesosok bayi mungil berbinar dari inkubator telah menguji kami dengan berbagai pilihan ganda, dan kini kami berdua telah lulus di tahap Sembilan bulan pertama menghadapi berbagai persoalan demi sebuah idaman.
Saat hal ini pertama ditulis, Dzoelfaqor, begitu abhimu memanggil, kau sedang terlelap dengan mimpi ‘mpeng’nya. Dua tahun sudah nafasmu hadir bersama, di tengah keluarga nan berhias kesyukuran dengan keutuhan dalam ketuhanan. Hanya ada satu ungkapan yang layak diabadikan dari perjalanan kita, “bahwasanya, kita semua dilahirkan dengan tuntutan yang tak berujung, setiap kali ada tuntutan yang dibacakan dunia yang kita tinggali, kita akan mendapatkan tuntunan dari yang maha pengasih dan penyayang, agar kita memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Manakala kemampuan telah kita miliki, maka tuntutan lainnya akan dibacakan kembali oleh dunia yang sudah pasti menjadi sang Jaksa Penuntut Umum. Begitulah sepanjang hayat dikandung badan. Hanyalah pengalaman yang dapat kita jadikan guru terbaik dalam hidup.
Dzulfaqor, mari kita bicara tentang hidup. Pahamilah bahwa setiap nafas yang kau hela, adalah modal dasar pinjaman dari sang pencipta alam. Ingat kita sudah terikat dengan pinjaman-pinjaman hidup, selain pinjaman nafas tadi, kita juga memiliki pinjaman raga dari sang bumi. Setelah kita menyelesaikan hidup ini, kita harus mengembalikan pinjaman-pinjaman tersebut. Nafas kita akan ditarik oleh malaikat Izrail as, dan dikembalikan kepada sang pencipta alam, yaitu Allah swt. Kenalilah Dia, ma’rifat ilallah. Dia-lah sebaik-baik tempat kembali bagimu. Lalu ragamu, harus pula dikembalikan pada yang meminjamkannya yaitu bumi, dimana tubuhmu terdiri dari unsur-unsur tanah, bumi yang kamu pijak sedari kamu mulai menangis, merangkak, berjalan dan berlari hingga terjatuh tadi pagi. Ingatlah pula, ragamu akan dikembalikan oleh para penggali kubur kepada anasir semula, dari tetes air hina, kamu bisa berjaya dan binasa, kau tumbuh dari protein hewani yang memakan tumbuhan yang bersemi di tanah, kau bertenaga karena mengkonsumsi daun dan buah dari tumbuhan yang hidup di tanah. Pada detik yang telah ditentukan oleh sang pencipta, raga kita pun akan dikonsumsi oleh cacing-cacing tanah, yang pada akhirnya unsur-unsur dari raga kita pun akan dikonsumsi oleh tumbuhan yang hidup di tanah kuburan raga kita. Begitulah kisah sang raga yang kita puja keelokannya hari ini.
Abstraksi imani yang abhi tawarkan padamu kali ini adalah, setelah kamu penuhi tuntutan yang pertama yaitu ma’rifat ilallah, maka bacalah, tanyalah apa yang belum kamu pahami, carilah pengetahuan dan jadikan pengetahuan sebagai ilmu. Hanya ilmu yang akan menjaga hidupmu dan akan mampu menyelamatkanmu dari segala bahaya kehidupan yang kau jalani, sampai kamu hidup untuk kedua kali.
Masa berlalu dua tahun dari hadirmu Hadrian, hari Minggu, 21 Pebruari 2010, pukul 6.10, adikmu pun terlahir. Saevani Dzulqornain, kunamai Dee-mu. Kau lalui hari-harimu dengan kecemburuan akan kasih sayang pada Dee-mu, padahal kasih sayang Abhi-bundamu bukanlah berkurang, tapi semakin luas dan dalam, sebentuk cinta yang besarnya tanpa bentuk karena tak kenali ukuran dan volume. Kata-kata ini pun tak cukup memuaskan pengungkapan karunia tuhan atas cinta yang kita miliki.(bersambung)
Saat ini....14 Pebruari 2014, Jum'at. aku publikasikan cinta ini bukan atas nama 'valentine'. Tapi atas nama keagungan tuhan semata. Selepas magrib, aku mulai merangkai kata kembali, tentu saja hanya untuk pribadi dan kamu di masa nanti. Setidaknya abhimu sudah berwasiat tentang kefanaan diri, percayalah! hidup ini hanyalah mimpi, merangkai mimpi. Susunlah mimpi-mimpimu sampai ke awan, seperti kamu menumpuk balok-balok di playground. Suatu masa kau pun akan terbangun dari mimpi itu, dan hidup dalam keabadian. Bila saja kamu rangkai mimpi-mimpimu dengan tanaman kebaikan, maka ketika kau terbangun dari mimpimu, niscaya akan kau panen 'kebaikanmu' itu di taman firdausmu. Lalu kau nikmati kelezatan mimpimu dengan 'minuman' dari telaga 'kautsar'; Sayang memang, hal ini tak dapat tercium oleh 'hidung' siapapun, tak terdengar oleh telinga manapun, dan belum pernah dirasakan oleh lidah yang ada di bumi ini. Sungguhlah ini, hanya yang sudah meninggalkan bumilah yang telah terbangun dari mimpi-mimpinya.
  Abhi berkisah padamu atas nama rosululloh SAW, kenali dan cintailah beliau.Karena abhi akan berupaya semampu jiwa dan raga agar cinta ini tak terbelenggu emosi. Seharusnya abhi mencintamu dan menyayangmu sebatas jalan tuhan dan rosul-Nya. Pahamilah ini setelah akalmu sempurna nanti di suatu masa. Karena di masa sekarang, kamu hanya memiliki kesimpulan bahwa yang ghaib adalah yang tidak 'kelihatan'. Hingga ketika mendung dan malam malam menjelang, kamu pun katakan bahwa "matahari mulai ghaib' bhi!".....ya! sementara bolehlah kamu berpikir begitu!
see you letter my kids!

ASAL BAHASA...

     Kisah ini dimulai dari zaman pra-bahasa. Ketika manusia belum mampu berkomentar dengan baik (baca:komunikasi), apalagi baca-tulis. Mereka baru melahirkan tahap bahasa dengan menggunakan bahasa isyarat melalui penggunaan jari tangan atau mata. Maka berkembanglah bahasa isyarat tersebut hingga peradaban detik ini yang disebut 'gesture'. Sering kali manusia yang sudah beradab melengkapi pembicaraannya dengan penggunaan 'gesture' ini. Contohnya,"Pergi kamu!" sambil mengangkat jari telunjuknya ke arah tertentu. Bahkan ada yang memberi isyarat melalui 'kedipan mata' pada seseorang untuk menyampaikan sesuatu yang dirahasiakannya.
     Pada zaman pra-bahasa ini, manusia hanya mampu berkata,"ach-uch-ah-uh!" untuk mengungkapkan persetujuan atau penolakan, sehingga kehidupan berlangsung sangat sederhana sekali. Maka perkembangan selanjutnya hingga detik yang baru saja lewat, manusia sering mnggunakan 'yel-yel' tertentu untuk men-support sebuah kejadian, dan menyampaikan ketidakpeduliannya dengan mengatakan, "au-ach-ge-laps!"
     Selain gejala bahasa di atas, pada kehidupan manusia 'jadul' ini juga mulai muncul bahasa sandi atau morse. Ketika manusia laki-laki tertarik dengan lawan jenisnya, maka ia akan mengelilingi pohon beberapa putaran dengan memegang ranting yang dipukul-pukulkan pada batang pohon tertentu yang dikeramatkan. Lalu ranting pohon itu diserahkan pada lawan jenisnya. Maka perkembangan peradaban 'reproduksi' manusia hingga detik yang akan datang pun akan semakin mencengangkan. Jika kemarin 'pernikahan' biasa diramaikan dengan pukulan rebana, dab lain-lain, termasuk dangdut musik 'organ tunggal'. Lalu untuk hari valentine katanya, perilaku purba ini dilakukan dengan coklat dan basa-basi cinta! kita lihat saja nanti perkembangan selanjutnya...Bahasa, menunjukan Pribadi.

Amal Ilmiyah dengan Ilmu Amaliyah di Al Hikmah #UNIDA

BERKIBAR di Langit Belajar

ASALIST POST Bagi yang ingin pemaparan tentang Psikologi Pembelajaran, silakan down load di sini : https://www.dropbox.com/home?preview=EK...

Ada Apa di Balai Sakola Desa 5.0